Menelisik Tatanan Lama Jawa 1740-1812, demikianlah tema seminar yang diadakan oleh Jurusan Sejarah UM pada jumat (25/1) bertempat di Aula Ki Hajar Dewantara FIS UM.

Pemateri berfoto dengan Bu Dekan FIS

Prof. Lili berfoto dengan Bu Dekan FIS

Lili Suratminto, Linguis Historis Universitas Indonesia didapuk sebagai pembicara pertama menjelaskan di awal seminar bahwa “tanpa pulau Jawa, Belanda tidak akan menjadi kerajaan seperti sekarang”, kurang lebih demikian yang disampaikan sebagai gambaran umum bahwa Jawa begitu penting dalam perjalanan sejarah kerajaan Belanda.

Setelah perang Jawa 1825-1830 apalagi, “emas hijau dari Jawa menjadi penopang perekonomian Belanda”, tegas Lili sapaan akrabnya.

Emas hijau merujuk pada hasil bumi yang sedang menjadi primadona dimasa itu antara lain tebu dan kopi. Dimana prosesnya menggunakan kebijakan pemerintah kolonial yang banyak kita kenal dengan sistem tanam paksa.

Antusiasme para audiens

Antusiasme para audiens

Dari gambaran umum tersebut Lili mengajak kita melihat sebuah potret kelam penjajahan yang melibatkan konflik politik keluarga antara Adriaen Valckenier selaku Gubernur Jenderal dan Baron van Imhoff selaku ketua Dewan yang sebenarnya masih sepupu.

Konflik tersebut melibatkan upaya Dewan di bawah kendali Baron van Imhoff untuk menjatuhkan Gubernur Jenderal dengan mengeluarkan kebijakan yang memicu huru-hara dan pembantaian etnis Cina di Batavia (Jakarta sekarang) pada 9 Oktober 1740 sehingga Gubernur Jenderal Valckenier diadili atas peristiwa tersebut.

Sedangkan Baron van Imhoff akhirnya bisa menjadi Gubernur Jenderal, berkat peristiwa yang tercatat menelan korban 10.000 jiwa etnis Cina di Batavia dan sekitarnya.

Daya Negeri Wijaya, dosen Sejarah UM dan ketua PPI Portugal 2018-2019 sebagai pembicara kedua menambahkan perihal posisi etnis Cina di masa penjajahan Inggris pun tidak kalah dilematis.

Nabok nyilih tangan (menggunakan pihak lain untuk menyerang,red)” menurut Daya adalah gambaran bagaimana Penjajah menggunakan Etnis Cina untuk melakukan sebagian strategi pengisapan kekayaan Jawa.

Sehingga menimbulkan kondisi “yang tidak disukai adalah orang Cina, sedangkan yang menikmati adalah Inggris” terang pria kandidat Doktoral Universitas Porto, Portugal.

Ketua Jurusan Sejarah bersama jajaran dosen Sejarah

Ketua Jurusan Sejarah bersama jajaran dosen Sejarah

Peristiwa berdarah yang melibatkan etnis Cina sebagai kambing hitam politik di Jawa tidak hanya terjadi di Batavia bahkan tempat dan waktu yang lain. Peristiwa 1998 mungkin adalah peristiwa yang masih dekat dengan kita saat ini.

Karena perjalanan sejarah yang kelam tersebut, FX. Domini BB Hera kandidat Magister UGM sekaligus editor buku Urip iku Urub yang turut hadir dalam acara memberikan tambahan agar juga memperhatikan sejarah etnis Cina di luar Jawa.

Sentimen Cina di Indonesia sementara ini menurut Sisco sapaan akrabnya, adalah karena perjalanan panjang sejarah di Jawa, sedangkan perjalanan etnis Cina di luar Jawa dapat menjadi pembanding karena menurut studinya sentimen itu hanya kental di Jawa.

Bahkan di Jawa setelah 1998 muncul penyebutan Tionghoa untuk menyebut etnis Cina, sebagai upaya meredakan sentimen pada etnis Cina.

Menurut Lili yang juga Dekan Fakultas Soshum Universitas Buddhi Dharma Tangerang, “rujukan kata itu sebenarnya tidak merepresentasikan etnis Cina, karena Tionghoa hanya salah satu nama suku Cina”.

Belajar sejarah bukan hanya perihal masa lalu tetapi bagaimana melihat masa lalu untuk memecahkan permasalahan dimasa kini dan mendatang.

Isu SARA sejak dulu hingga saat ini menjadi komoditas politik yang laris manis dikonsumsi masyarakat, sehingga perlu penyegaran dengan menengok perjalanan bangsa ini mengelola SARA dan kenapa SARA menjadi alat adu domba politik.

Dengan penyegaran itu diharapkan masyarakat Indonesia mampu melihat isu SARA secara jernih dan menempatkan sesuai porsi permasalahannya sehingga terhindar dari sentimen-sentimen SARA yang memantik kerusuhan hingga perpecahan bangsa.

 

Dilaporkan oleh: Eki Robbi Kusuma

(Mahasiswa S2 Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Malang)

Dimuat juga di koran Surya: Januari 2019

Need Help? Chat with us