Sebagian dari kita mungkin jarang menaruh perhatian atau bahkan sudah lupa pada realita sejarah antara Indonesia dan Timor Leste. Narasi bahwa Timor Leste pernah menjadi bagian dari NKRI dan lepas di tahun 1999 tampaknya sudah menjadi narasi yang banyak diamini. Perspektif warga Timor Leste dan kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia di sana belum banyak dibicarakan, khususnya dalam pembelajaran sejarah. Terkait hal tersebut, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang akhirnya sukses menyelenggarakan kuliah tamu bersama Dr. Vannessa Hearman pada Selasa (16/7). Vannessa Hearman merupakan dosen sejarah di Curtin University, Australia, dengan fokus kajian pada sejarah Asia Tenggara, khususnya sejarah Indonesia dan Timor Leste.

Kuliah tamu dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan paparan materi terkait respon para intelektual Indonesia, khususnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Peristiwa Dili atau penembakan di Santa Cruz 1991. Dalam peristiwa tersebut, militer Indonesia melakukan penembakan terhadap para warga sipil yang sedang menabur bunga di Pemakaman Santa Cruz sambil melakukan protes tanpa senjata. Peristiwa tersebut sangat mengguncang pemerintah Indonesia karena terdapat banyak bukti audio-visual terkait kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer. Hearman kemudian mengungkapkan soal bagaimana Gus Dur menanggapi peristiwa ini, “Saat itu, sebagai seorang demokrat, Gus Dur menyatakan bahwa Indonesia tidak boleh meremehkan reaksi internasional. Negara demokrasi harus membuka ruang diskusi, tidak ada tempat untuk kekerasan, dan pemerintah harus punya wibawa”.

Lebih lanjut, Hearman menjelaskan bahwa terkait hal ini, Gus Dur juga mengalami dilema mengingat posisinya sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama (NU). Beliau tidak bisa terlalu lantang menyuarakan kritik, tapi tetap menegaskan bahwa Peristiwa Dili bukan persoalan agama. Bahkan dalam kunjungan singkatnya di Dili, Gus Dur meletakkan bunga di Pemakaman Santa Cruz dan Seroja, sekaligus menyampaikan permohonan maaf atas kekerasan yang telah dilakukan oleh militer Indonesia kepada warga Timor Leste. Dalam pemaparannya, Hearman melanjutkan bahwa masyarakat Timor Leste juga sangat memberikan apresiasi kepada B. J. Habibie karena telah menyelenggarakan referendum 1999, sehingga mereka bisa menentukan nasib sendiri. “Meskipun pemerintah Indonesia merasa telah melakukan pembangunan dan pendidikan, tapi masyarakat Timor Leste menginginkan kebebasan,” ujar Vannessa.

 Tidak hanya sampai di situ, Jose, suami dari Vannessa Hearman yang turut serta dalam kuliah tamu ini juga membagikan pengalamannya sebagai penyintas kekerasan yang terjadi di Timor Leste. “Saat saya sekolah, pelajaran sejarah yang pertama kali saya dapatkan adalah G30SPKI. Kami diajari bahwa komunis itu jahat, jadi ketika tentara Indonesia menyerang kami, kami bahkan menganggap mereka juga komunis”. Jose melanjutkan bahwa saat militer Indonesia menduduki Timor Leste, ia dan keluarganya harus lari dan bersembunyi di hutan, nyawa mereka sangat terancam.

Kuliah tamu kali ini dihadiri pula oleh mahasiswa PPG Prajabatan jurusan Sejarah. Mereka sangat antusias dan aktif menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang memantik diskusi terkait bagaimana narasi sejarah Indonesia dan Timor Leste ini dibawa ke dalam kelas-kelas pembelajaran di sekolah. Mereka menunjukkan curioustiy yang tinggi dan kesadaran akan pentingnya menyampaikan narasi sejarah secara jujur dalam pembelajaran

 

Tim Publikasi Departemen Sejarah FIS UM

Need Help? Chat with us